Kupu-Kupu di Kepala Sadrak



TINJU Sadrak akhirnya mendarat di muka Bejo tepat ketika seekor kucing melintas di atas kepala Sadrak. Perkelahian mereka membuat kucing-kucing yang sedang tidur-tiduran di atas jok motor melompat kaget. Sudah dari pukul sembilan pagi Sadrak mencari-cari Bejo akibat statusnya di timeline facebook. Begitulah, persoalan ini dimulai dari Bejo yang menulis status dengan menyatakan cintanya kepada istri Sadrak. Sebenarnya Sadrak sudah tahu gelagat Bejo yang semenjak lulus SMA menyukai istrinya. Tapi karena Bejo yang saat itu belum cukup uang, membuat Sadrak dapat bergerak cepat setelah memenangkan uang sebanyak sembilan juta dari  judi kupon putih.

“Saya ingin melamarmu, Wati?”

“Uangnya sudah ada?”

“Saya menang judi. Ayo kita cari penghulu!”

Demikianlah, pernikahan itu dilakukan ala kadarnya.

Mulai saat itu, Bejo bukannya berhenti mengejar Wati, tapi malah menjadi semakin cinta kepadanya.

Semenjak Sadrak mengawini Wati, Bejo adalah satu-satunyanya cacing yang membuat kepala Sadrak tidak berhenti berpikir. Seperti cacing di dalam tanah, cacing di kepala Sadrak terus bergerak-gerak menggali otak Sadrak.

Pernah suatu kali Sadrak mogok kerja akibat jengkel melihat ulah Bejo yang mencuri-curi kesempatan  saat bekerja di sebuah ruko di ujung lorong pemukiman mereka. Akibat Sadrak mogok kerja, membuat Wati mengambil alih semua pekerjaan suaminya. Mulai dari mencampur bahan bangunan sampai menarik semen dengan tali trol ke tingkat dua. Bejo yang sehari-hari bertugas sebagai tukang cor di lantai atas melihat itu kesempatan emas untuk dapat berdua-duaan dengan Wati.

“Yang kuat, sayang yah?” Mulut Bejo merayu Wati.

“Huss..Kalau kerja ya serius to!”

“La ini serius. Serius merayu kamu.”

“bajingan!”

Malamnya, pasca pulang dari tempat kerja di sore hari, Wati yang merasa kelelahan menceritakan ulah Bejo yang semakin menjadi-jadi kepada Sadrak.

“Mau mogok sampai kapan ha!?”

“Kalau Bejo jatuh dari lantai dua..”

“Jangan mimpi, yang ada dia sudah mirip monyet, nyeletuk sana, nyeletuk sini. Main gombal segala.”

Sadrak acuh tak acuh sambil memotong kuku jari kaki jempolnya yang menghitam.

“Ya sudah. Kalau mau mogok silakan. Tapi jangan minta jatah ya. Capek!”

Kalimat terakhir Wati barusan membuat Sadrak kaget. Hampir saja dia memotong ujung jari jempol kakinya.

Pasca malam itu, paginya Sadrak kembali masuk kerja dan menjadi kuli bangunan yang paling bertenaga. Dia tak ingin menjadi seperti ayam jantan yang kehilangan betina di musim hujan. Di tempat kerja, target mengecor lantai dua bangunan ruko yang harusnya selesai selama empat hari molor selama seminggu dia bayar tuntas. Bahkan, tugas Bejo dibantunya pula sampai mereka pulang dengan  otot yang semakin mengeras.

Tapi sayang, keindahan pasutri di atas ranjang tidak segera mampu ditunaikan Sadrak. Kali ini dia yang kelelahan. Pasca memakan ubi rebus dua piring, dia tertidur tanpa sebelumnya menghisap rokok, kebiasaannya sebelum tidur.

Jika Sadrak dan Wati kehabisan pekerjaan, atau tidak ada mandor pertukangan yang memanggil mereka berkerja, sehari-hari pasangan suami istri ini mencari kodok di malam hari. Maklum, lingkungan perkampungan mereka banyak dikelilingi rawa-rawa.

Tapi, tempat favorit mereka mencari kodok adalah di bekas lapangan sepak bola yang ditinggal remaja kampung menjadi TKI di negara sebelah. Lapangan itu sebenarnya bekas kawasan pabrik  es yang bangkrut akibat penduduk kampung yang mulai banyak membeli kulkas. Selama bertahun-tahun ditinggal tanpa ada perhatian, kawasan itu berubah dengan cepat seperti padang sabana. Banyak ilalang liar tumbuh bersamaan dengan pohon-pohon kecil putri malu. Dan jika hujan tiba, lapangan itu digenangi air dalam waktu yang lama. Di tempat itulah banyak kodok berkembang biak sebanyak tahi sapi yang berserakan. 

Biasanya setelah semalaman mencari kodok dengan menggunakan tongkat beraliran litrik, kodok tangkapan mereka dijual di pasar yang mulai ramai saat subuh datang. Yang paling banyak membeli kodok mereka adalah pedagang-pedagang emas Tionghoa yang gemar mengkonsumsi kodok goreng. Kadang lewat mereka Sadrak mendapat pesanan tambahan jika ada dari keluarga mereka mengidap penyakit pernapasan di musim hujan.

Sebenarnya pekerjaan mencari kodok merupakan pekerjaan Sadrak sebelum menikahi Wati. Wati sebelumnya adalah kuli bangunan yang sering ikut kerja bersama Bejo di pinggiran kota. Tapi semenjak dipinang Sadrak, Wati sering ikut menemani suaminya di malam hari mencari kodok untuk menambah-nambah penghasilan.

“Besok ada rumah pak lurah yang ingin direnovasi. Butuh satu orang lagi agar cepat kelar.” Ucap Wati tiba-tiba sepulang dari pasar.




SAAT itu rumah pak lurah ingin diperbaiki secepat mungkin akibat akan kedatangan calon gubernur yang ingin blusukan. Menurut kabar yang berkembang, calon gubernur yang merupakan mantan jenderal itu akan menghabiskan waktu tiga malam tiga hari berkeliling sampai di pelosok-pelosok kampung. Karena tidak ingin malu, rumah pak lurah yang disepakati sebagai tempat menginap calon gubernur direnovasi secara mendadak.

Kedatangan calon gubernur di perkampungan itu mendatangkan rejeki bagi Sadrak. Pekerjaannya ketika merenovasi rumah pak lurah membuat mandor terkesan. Tenaganya mirip badak Sumatera yang terancam punah. Mulai saai itu, Sadrak sering mendapat orderan jika ada bangunan baru yang ingin dikerjakan. Melihat Sadrak seringkali ikut dipanggil berkerja, membuat Wati nampak bahagia. Setidaknya Sadrak punya pekerjaan di siang hari dibandingkan harus duduk berlama-lama di bawah tiang listrik mengecas aki alat pemburu kodoknya.

Ada siang ada malam, jika ada gunung berarti ada lautan. Keberuntungan Sadrak juga diiringi kesialan. Walaupun mendapat pekerjaan tambahan, Sadrak harus tiap hari bertemu kawan lamanya semenjak SMA. Siapa lagi kalau bukan Bejo. Orang yang dia tahu menyukai Wati semenjak SMA. Semenjak saat itulah cacing di dalam kepala Sadrak semakin gemuk tiap Sadrak bekerja.

“Cacing ini semakin lama semakin gemuk memakan otakku!”

Nada jengkel sering kali membuat Wati merasa bingung jika Sadrak berkata-kata sendiri jika mengaduk semen.

“Otakku dibuat mirip semen semakin encer, cacing sialan!” Bentak Sadrak menyumpahi dirinya.

Cacing di kepala Sadrak semakin hari semakin menjadi-jadi. Bukan saja melubangi otak Sadrak, ketika ia seringkali memerhatikan mata nafsu Bejo yang melirik Wati dengan tatapan merayu, membuat cacing di kepala Sadrak berubah menjadi lintah. Menghisap habis darah di tubuhnya sampai di atas ubun-ubun. “Asu!” Maki Sadrak. 

Ketika di hari Kamis pasca kedatangan truk pengangkut pasir, Sadrak akhirnya dikalahkan cacing yang kian gemuk di dalam kepalanya. Kejadian itu bermula saat Sadrak tidak tahan melihat Wati yang kegirangan kala mendengar namanya disebut-sebut penyiar radio dari tape butut yang sering mereka pakai mendengarkan lagu di sela-sela mereka bekerja. Ternyata hari itu Bejo sedang me-requestlagu yang dia kirimkan buat si Wati. Lagu berjudul wanita idaman itu dispesialkan Bejo buat si Wati. Melihat Sadrak marah seperti ulama yang kebakaran jenggot, hanya membuat Bejo cekikikan di ujung bambu tempat mereka beristirahat. Sampai lagu itu habis diputar, emosi Sadrak belum juga reda. “Assu…besok saya mogok kerja!”. Terdengar suara cacing di kepala Sadrak menggema.

Di atas kursi goyang bekas pemberian pak lurah, Sadrak duduk angin-anginan selama tiga hari. Mengaso sambil mengisi teka-teki silang dari kertas koran. Atau jika hari sudah agak sore, Sadrak beranjak pergi di ujung lorong menjongkok di bawah tiang litstik menunggu akinya terisi penuh. Jika malam sudah sedikit dingin, keluarlah dia dengan mantel jas hujan seperti malam-malam biasanya. Mencari kodok.

Saat itulah ketika pulang dari mencari kodok, dia mendapati wajah Wati tidak seperti biasanya. Wati terlihat kesal atas mogok kerja yang dilakukan suaminya. Pekerjaan mengaduk campuran bahan bangunan yang sebenarnya bagian Sadrak membuat Wati dizalimi. Apalagi semenjak kemarin mandor mereka marah-marah setelah tahu Sadrak mogok kerja.

Pasca diprotes Wati untuk tidak diberikan jatah malam, besoknya Sadrak mulai datang bekerja. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tenaganya kali ini dua kali lipat dari biasanya. Lantai bangunan berlantai dua yang ditargerkan selesai selama dua pekan akhirnya selesai sebelum hari Kamis minggu kedua.

Namun ada yang aneh dari sikap Wati ketika Sadrak mulai masuk kerja. Wati nampak kegirangan ketika Bejo mulai merayu-rayunya. Jika biasanya dia malah memasang wajah mengancam kepada Bejo, kali ini berbeda. Setiap kali Bejo melempar pandangan kepadanya, Wati meresponnya dengan memasang wajah semanis mungkin seperti ada sejuta kamera mengarah di hadapannya.

Melihat tingkah Wati yang mulai termakan rayuan Bejo, membuat Sadrak mempertajam indra penciumannya. Beberapa kali setiap  setelah mengaduk semen, matanya tidak pernah lepas dari Bejo dan Wati. Terutama kepada Wati, indra penciuman Sadrak bertambah seribu kali lipat dari penciuman anjing.

Salah satu polah Wati yang membuat Sadrak semakin menaruh curiga ketika di telinga Wati selalu menempel headshet kala bekerja. Ternyata, pasca tape butut yang dibanting Sadrak tempo hari dinyatakan rusak, Wati sering kali mendengarkan radio melalui handphonekesayanganya. Bahkan bukan saja itu, semenjak Wati membeli handphone android pasca mereka menerima upah kerja, Sadrak selalu  pergi mencari kodok sendirian.

Semakin lama, Bejo semakin sering mengirimkan lagu kepada Wati. Tanpa sungkan-sungkan, dia tidak lupa ikut mengirimkan puisi yang dicomot dari buku bekas yang dia temukan di tong sampah sebuah SD. Setiap kerja, wajah Bejo dipenuhi aura kemenangan saat penyiar radio selesai membacakan puisinya. Kemenangan Bejo semakin menjadi-jadi ditambah  penyiar radio yang mengira Bejo dan Wati adalah dua sejoli yang sedang memadu kasih. Ketika lagu kesayangan Bejo mulai diputar, Wati yang sedari tadi menahan senyumannya, membuat cacing di kepala Sadrak semakin kepanasan.

“Kamu ada main dengan Bejo, ya?”

Tiba-tiba Sadrak membuka percakapan.

“Huss..!”

“Alaa..buktinya kamu senang dikirimi lagu!?”

“Makanya..jangan mau ngalah sama si Bejo!”

Paras Wati seperti mengancam.

“Assu..!”

Setiap kali anjing melompat dari mulut Sadrak, saat itu pula percakapan mereka berakhir. Sadrak menangkap nada persaingan dari suara Wati. Dia baru ingat, pernikahannya dengan Wati bukan semata-mata karena cinta belaka, melainkan hanya karena dia yang berhasil pertama kali melamar Wati dengan uang hasil kemenangan judi kupon putih.

Suatu waktu saat beristirahat makan siang, Sadrak melihat Bejo sudah berganti handphone. Hape butut berwarna biru yang sering dipakainya untuk me-request lagu sudah diganti dengan android yang ditukarnya di pasar loak. Kini, Bejo sudah jarang me-request lagu. Dia lebih sering bermedia sosial. Kesibukan baru seperti yang juga dilakukan Wati.

Tak ingin kalah, setiap malam Sadrak bergerilya menyusuri setiap kawasan yang digenangi air. Memasuki tiap gang-gang lorong mencari kodok. Kali ini Sadrak membawa dua tongkat penyengat. Ini berarti dia lebih lama mencuri listrik untuk mengisi agar akinya tak mudah soak. Lapangan di kawasan bekas pabrik es sudah tujuh kali dikelilinginya. Bahkan Sadrak berani masuk di kawasan pekuburan yang terkenal angker untuk mendapatkan kodok lebih banyak. Semakin banyak kodok, semakin mudah Sadrak mengumpulkan uang untuk membeli hape android bekas.

“Bayar saja semuanya dengan hape android.”

Sadrak menawarkan dua karung kodoknya kepada A Kiong ketika tiba di pasar.

“Saya ingin mengawasi istri saya. Bayar saja dengan hape Samsung kepunyaan A Kiong.”

Sadrak berusaha meyakinkan A Kiong, langganannya yang memiliki warung klontong di tengah perkampungan.

“Tidak sebanding. Carikan saya yang lebih banyak lagi.”

Subuh itu, setelah mendengar ucapan A Kiong, Sadrak semakin giat mencari kodok. Setiap malam, tanpa banyak omong, saat kodok pertama keluar dari persembunyiannya menjadi tanda Sadrak siap-siap dengan jas hujannya. Dengan alat penangkap kodok yang dipanggulnya seperti tas ransel, berjalan menuju area pekuburan di kampung sebelah.

“Ingat belikan pulsa ya!”,  teriak Wati dari tempat tidurnya.

“Taik!” Maki Sadrak dengan suara pelan. Sedetik kemudian dia hilang di balik pintu.

Saat itu cacing di dalam kepalanya semakin bertambah gemuk.

Sampai akhirnya selama sebulan, Sadrak sudah dapat menggunakan smartphone. Hape itu didapatkannya saat hari ke dua puluh delapan. A Kiong yang menyerahkannya langsung.




SEJAK memiliki smartphone, Sadrak secara sembunyi-sembunyi pergi ke toko A Kiong untuk dibuatkan akun facebook. Setelah dibuatkan akun dan kursus singkat cara bermain facebook dari anak A Kiong, Sadrak sudah mahir mengajak berteman siapa saja yang ditemui di dindingnya. Termasuk Bejo, akun istrinya yang menggunakan foto profil artis Ayu Azhari juga diajaknya berteman.

Tentu saja Sadrak tidak bodoh. Akun facebook yang dibuatnya tidak menggunakan nama aslinya. Foto profilnya juga menggunakan foto samaran. Setelah dua kali membuat akun facebook akibat paswordnya yang hilang, Sadrak menggunakan nama Herman Purnawan dengan mengambil foto pria keturunan Arab sebagai foto profilnya. Tidak sampai tiga hari, pertemanan yang diajukan Sadrak diterima istrinya.

Namun sayang, keinginan memata-matai aktifitas Wati dan Bejo lewat status dan komentar-komentarnya, membuat cacing di kepala Sadrak tumbuh semakin membesar. Kali ini bukan saja membesar, melainkan berubah menjadi seperti lintah kering. Darah Sadrak habis dihisapnya. Sadrak naik pitam.

Maka tibalah di hari yang nahas bagi Bejo. Seperti yang sudah dikatakan dari awal, di siang hari ketika matahari mulai tergelincir, tinju Sadrak mendarat telak di rahang Bejo yang saat itu sedang mengaso di rumahnya. Kucing peliharan Bejo yang sedang bermalas-malasan di atas jok motor melompat kaget. Tanpa habis pikir, sebelum kucing itu mendarat dengan baik, satu pukulan jap mirip Mike Tyson diluncurkan Sadrak. Kali ini hidung Bejo yang kena. Belum sempat Bejo membuka mulutnya, pukulan Sadrak telak mendarat kembali tepat di bibirnya. Kali ini Sadrak sudah berubah menjadi seorang petinju profesional. Pukulan demi pukulannya berkekuatan sama seperti sedang mengaduk campuran kerikil dengan bersak-sak semen.

Siang itu satu-satunya saksi mata yang melihat serangan Sadrak terhadap Bejo adalah kucing-kucing Bejo yang dari tadi mengeong-ngeong melihat tuannya digasak tanpa balas. Sampai akhirnya satu pukulan seberat sepuluh kilo menyasar hidung Bejo yang dari tadi mengeluarkan darah, membuat Bejo tersungkur pingsan.

Sebelumnya, ketika pagi sepulang dari membeli rokok, Sadrak terkejut setelah membaca pernyataan cinta Bejo kepada Wati. Sontak status itu membuat cacing di kepala Sadrak menggeliat kepanasan. Terlebih lagi ketika Sadrak membaca balasan komentar Wati yang hanya menyisipkan emoticon yang dipenuhi hati berwarna merah bergerak-gerak seperti ingin melompat-melompat.

Pasca kejadian itu, setelah Bejo pingsan digasak bogem Sadrak, Sadrak pergi meninggalkan kampung dan istrinya begitu saja bersama kelompok pengembara yang sudah seminggu bermalam dan berdakwah di masjid kampung mereka. Kini cacing di kepala Sadrak sudah berubah menjadi kupu-kupu. Terbang bersama Sadrak.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda