Aku di suatu sore kucium jemarimu, dihinggapi bau kulit
bawang
Di antara menara masjid yang bersuara mendayu-dayu,
langkahmu
Tanpa suara melingkari dapur sejak pagi
Mengolah rempah-rempah, tubuhmu bergeliat
Menumbuk-numbuk ulet batu cobek
Ibarat memahat batu prasasti dalam sejarah manusia-manusia
Dikau duduk mirip petapa, mematung di sekitar serei, lada,
cabai, tanganmu
terampil mengitari lempengan oval hitam bekas ibu
Ketika kau rebah di atas tikar, jemarimu kulihat disinggahi
kulit yang
Terbakar, melepuh, kau hanya mengeluh sembari mengacungkan
tangan yang
tidak berhenti memejam mata ketika memeras pakaian kala
dibasahi
deterjen…
di malam yang rebah sebentar lagi, kucium pipimu, di situ
hinggap aroma ikan
seperti berputar berenang di antara biji delima yang tumbuh
kelak jika kau senyum, ikan-ikan di pipimu juga bakal
kujerat mata pancingku
yang dari pagi tak lekas bosan duduk di bukit pipimu,
menyiangi aroma ikan
di wajahmu kadang kulihat danau dan juga nelayan yang
bergerak-gerak
mengikuti rambutmu yang hitam
di situ kuhirup juga bebauan sayur kemayur, seperti tumbuh
di sela-sela keringat
yang membuatmu sering aku peluk
bila malam datang sudah, kau lekas mandi tapi tidak hilang
bau bawang
jari-jarimu masih luka, yang kadang di situ kucium bebauan
minyak merek tawon
seperti sudah terjadi perang di tanganmu, penuh bekas
irisan, juga ledakan
namun sungguh semua itu membuat aku tidak bosan, memetik
sayur dari tanganmu
mencium ikan di pipimu, yang terus berenang dan tidak
berhenti
di hidungmu kuhirup bau sambal yang kau bikin dengan sungai
kasih sayang
hingga di keningmu tak sudi aku pergi darinya, di situ aku
dibuat tenggelam
oleh tungku bekas pembakaran
aroma seorang perempuan yang pulang
perang
tanpa suara
Label: P U I S I
0 Comments:
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda